Ketika Hati Berceloteh

Disadari atau tidak, hati jauh lebih banyak berceloteh daripada mulut. Jangan tanya kenapa, karena memang aturannya begitu. Di dunia nyata, mulut diatur oleh norma, hukum (hukum positif, adat atau agama) dan jenis peraturan lainnya. Sedangkan di dunianya nun jauh di dalam sana, hati tidak punya peraturan khusus yang mengatur apalagi membatasinya berceloteh. Dia bisa seenak-enaknya menyumpah-serapahi orang lain tanpa orang yang disumpah-serapahi itu tahu. Hati bisa mengumpat dengan kata-kata paling kotor dan paling kejam sekali pun. Ia sangat leluasa mengkritik siapa saja tanpa harus takut dipersalahkan. Hati bisa memuji seseorang ‘spatially’ tanpa orang yang dipuji mengetahui dirinya sedang dipuji. Hati bisa menghina, menfitnah, menjelek-jelekkan orang lain entah dengan nada suara yang keras atau pun lembut dan sekadarnya saja. Hati bisa meneriakkan kata cinta dengan lantang tanpa didengar oleh orang yang diam-diam kita cintai.

Bisa dibayangkan apabila kritikan, umpatan dan hinaan itu sampai keluar dilontarkan oleh mulut. Setumpuk hukum dan peraturan sudah menanti, siap dijatuhkan kepada si empunya mulut tersebut. Mulai dari pasal pencemaran nama baik sampai pasal perbuatan tidak menyenangkan. Itulah dia sebabnya, banyak orang yang menekan keinginannya untuk berceloteh dengan mulutnya dan memilih hanya berceloteh dalam hati saja. Acap kali, demi terhindar dari labelisasi ‘tidak bisa menjaga mulut’ dari masyarakat atau hukuman moral dari lembaga hukum, orang-orang memilih memperhalus kata-katanya, mengeluarkan kata yang manis-manis dan menyenangkan orang lain saja, bahkan sampai mengaburkan kebenaran demi kepentingan tertentu dan menyangkal celotehan hati yang bisa saja lebih jujur dan tulus dalam bersuara.

Celoteh hati harus didengar aspirasinya. Ia harus mendapatkan tempat yang pantas untuk didengar, disimak dan dipedulikan. Setidaknya oleh diri kita sendiri.

Jangan pernah mengabaikan celotehan hati, karena ketika hati berceloteh sesungguhnya dia tengah mengutarakan sesuatu yang bisa jadi benar adanya. Karena ketika hati berceloteh, ia hendak menyuarakan kejujuran tanpa diselubungi tendensi atau pun kepentingan (khususnya yang pragmatis). Kita bisa belajar jujur dari hati yang gemar berceloteh. Padanya, pada suara-suara yang kita kira tidak jelas ujung-pangkalnya di dalam hati, kita bisa bercermin seberapa jernih diri dan pikiran kita.

Selamat berceloteh para hati. Selamat menyuarakan yang jujur-jujur saja secara apa adanya…!

Posted in Uncategorized | Leave a comment

Peceloteh teh naon, Teh?

“Hah? Apah? Pecel (nadanya nyinyir gitu)? Kok, pake Lotek segala?”
“Pecel, pecel. Lotek, lotek. Kenapa dicampur sayur lodeh?”
Atau,
“Mau elo apaan sih, ngasih nama blog pake nama makanan? Mau bikin blog resep masakan?”

Ih, miris deh denger komentar-komentar orang pas gue sodorin nama blog baru gue. Miris karena, kasian aja sama mereka enggak stay updated sama kosakata bahasa Indonesia paling mutakhir. Saking repotnya ngejelasin satu per satu, mau itu via DM di Twitter. Chatting di Facebook, telepon atau SMS—malah ada yang kurang waras nelepon jam 2 pagi-pagi buta cuman mau ngomentarin nama blog gue yang katanya kurang bawa hoki—akhirnya, gue masukin aja deh semacam disclaimer yang gue catut dari dua kitab keramat (kitab Kamus Besar Bahasa Indonesia sama Kamus Mini Orang Indonesia karangan gue sendiri) di halaman muka blog gue, biar semua orang yang dateng enggak usah bingung dan bertanya-tanya lagi makhluk jenis apakah gerangan Peceloteh itu?

Kata orang-orang tua, nama adalah doa. Bener, gue setuju. Tapi gue setuju sama pendapat orang paling bijak sedunia, yaitu gue sendiri, yang menganggap nama adalah ujung tombak penjualan, hidup-matinya marketing, lokasi susuknya penari ronggeng atau tahi lalatnya Rano Karno. Nama harus unik dan gampang diingat, punya daya pikat sekaligus memiliki daya magis yang membuat siapa aja jadi penasaran.

Apa sih Peceloteh itu sebenernya? Sumpah, ini enggak ada hubungan darahnya sama sekali dengan makanan-makanan enak khas Indonesia yang disebut-sebut di atas tadi. Pecel, lah. Lotek, lah. Sampe, sayur lodeh, lah. Enggak, sama sekali enggak ada hubungan apa-apa antara nama blog gue dengan mereka-mereka itu selain temen biasa aja. Awalnya, gue cuman bingung aja mau kasih nama apa soalnya semua nama yang ditawarkan otak gue udah disamber sama orang. Celotehati, udah dipake seenggaknya di 3 (tiga) web penyedia layanan blog gratis. Begitu halnya dengan Berceloteh atau Celoteh aja, semuanya udah diembat sama orang.

Pikir punya pikir, setelah merenung lama sambil puasa semalem suntuk, akhirnya akal gue menyodorkan sebuah nama yang agak beda dan sangat Indonesia sekali. Karena, gue nyari-nyarinya sampe buka Kamus Besar Bahasa Indonesia segala. Yeah, walopun emang enggak ada juga kata Peceloteh di Kamus, tapi gue masih menggunakan kaidah-kaidah Bahasa Indonesia yang baku, baik dan benarrrr! Awalan ‘Pe-‘ di depan kata celoteh menunjukkan subjek. Jadi kalo digabungin, Pe-celoteh artinya ya kira-kira orang yang berceloteh atau orang yang suka berceloteh. Gitu lho, bro and sis. Enggak ada hubungannya tuh sama Pecel apalagi Lotek walopun sebenernya isi blog ini juga udah kayak pecel atau lotek yang campur-campur. Dan gue harap enggak ada lagi tuh yang pas denger kata Peceloteh langsung mengernyitkan kening sambil agak teriak bilang, “Apah? Pecel Lonte?!!”

Yang disajiin oleh Peceloteh harapannya sih lebih enak dari pecel, lebih ngenyangin dari lotek. Ngomongnya juga harus sambil sepintas lalu atau boleh juga ngalor-ngidul. Tapi ngalor-ngidul juga bukan sembarang ngalor-ngidul. Ngalor-ngidul ala Peceloteh harus jujur menyuarakan kebenaran dan kata hati. Harus ada isi, nilai dan menginspirasi juga. Terserah deh, ngomongnya enggak jelas mana ujung mana pangkal, yang penting hati senang riang gembira tanpa beban dalam dada. *Halah!*

So, are you Peceloteh enough?

Posted in Uncategorized | 1 Comment